Sekelumit Pendakian Latimojong
Setiap orang
bebas untuk bermimpi. Aku selalu memberanikan diri untuk menuliskan mimpi-mimpi
itu dan menempelkannya di dinding ruang kamar. Sederetan tulisan-tulisan ini
terdapat satu nama yakni, puncak Rante Mario, pegunungan Latimojong, yang masih
aku bubuhi tanya-tanya.
Awalnya memang
hanya sebuah coretan kecil. Berbulan-bulan Aku abaikan karena banyak yang harus
di kerjakan pada semester akhir studi lanjutanku. Sampai pada akhir tahun 2017
terdapat sebuah even promo suatu maskapai dengan diskon gila-gilaan. Aku yang
memang dijadwalkan wisuda pada awal bulan April 2018, harus mendapatkan tiket
istimewa ini untuk berlibur melepas penat setelahnya.
“Mau ambil tiket kemana Lin?” tanya
Anjar.
“Makassar aja, Ramang-ramang plus city
tour, gimana?” jawabku meminta persetujuan.
Berawal
dari sini pikiran untuk menjajakan kaki di puncak Sulawesi belum terpikirkan.
“Tumben Lin? ga sekalian ke Latimojong
aja?” Anjar memastikan.
“Engga njar, lagi engga pengen nggunung.”
jawabku cepat.
Berlalulah
kita yang mengantri di hari pertama dan gagal. Kemudian lanjut pada hari kedua.
Untung dan Imam
pun join pada hari kedua, dan mereka juga mengiyakan tujuan ke Makassar. Setelah
perjuangan seharian mengantri, akhirnya 6 tiket promo untuk bulan April sudah
ditangan; tambahannya Bang Tynol dan Vero.
“Ini
ke Latimojong kan Mba?” tanya Untung.
“Ramang-ramang
aja.” jawabku. Padahal Latimojong waktu itu juga sudah lumayan berkeliaran
dipikiranku.
Tiga bulan
berlalu dan obrolan Latimojong juga semakin ramai. Pengaruh kuat mereka
sebarkan untuk mendaki gunung di Sulawesi ini. Singkat ceritanya, Latimojong
adalah pilihan final. Preparasi pendakian juga hanya di ramaikan lewat grup
WhatsApp tanpa mengadakan meet up lagi.
Hari ke 1, 21 April 2018
Mengatur jadwal
kerja selesai dan akhirnya jadi juga liburan. Jadwal tiket promo yang kami dapat
memang berbeda jam penerbangan. Karena promo tersebut, jadi kami harus
membaginya dalam beberapa waktu jam terbang. Kebetulan aku mengambil jadwal
malam bersama Imam. Tapi, sangat disayangkan, karena kebetulan dia baru saja
diterima kerja dan masih sibuk dengan tugas akhirnya pula, maka Imam tidak jadi
ikut.
Berangkat dengan
bis JA (Jakarta Airport) Connection dari Mall Kelapa Gading yang letaknya tidak
jauh dari kosan. Harga tiketnya juga masih terbilang cukup murah di bandingkan
yang lain yakni Rp. 35.000. Bis yang lebih mirip Busway ini menurutku memang
lebih nyaman daripada bis bandara kebanyakan. Dengan tatanan bangku yang unik
dan rapi, bis ini membawaku sampai Bandara Soe-Hatta kurang dari satu jam. Aku
beruntung memang, hari itu jalanan tol tidak begitu macet.
Setelah
melakukan aktifitas check in dan seterusnya. Aku sampai di bandara Hasanudin,
Makassar pada pukul 23.00 WITA. Ini adalah pengalaman pertamaku terbang sendiri
dan menginjakkan kaki di tanah Sulawesi. Rasanya menyenangkan untuk mengunjungi
tempat-tempat baru seperti ini.
Aku menyibukkan
diri dengan membeli jajanan sambil
menunggu Anjar dan Untung datang. Jadwal penerbangan mereka hanya terpaut dua
jam, jadi sendirian di Bandara Hasanudin bukan menjadi suatu masalah yang besar
bagiku.
Dua jam berlalu
dan kami bertiga sudah berkumpul. Sekarang tinggal menunggu dua orang lagi yang
akan sampai besok pagi. Sementara itu, kami di jemput seorang teman yang akan mengantarkan
kami ke sebuah penginapan.
Hari ke 2, 22 April 2018
Baru saja sampai
di penginapan pada waktu subuh dan setelah menunaikan sholat kami gunakan waktu
sebaik-baiknya untuk beristirahat. Tiga jam berlalu, ternyata Bang Tynol dan
Vero sudah sampai di Makassar dan segera menjemput kami dengan mobil sewaan
yang akan membawa kami ke Enrekang.
Sebelum meninggalkan
kota Makassar, tak lupa aku menikmati coto Makassar yang di tunjukan oleh Riki.
Oiya, Riki ini adalah seorang teman dari ‘Pendaki Indonesia Makassar’ yang akan
mengantar kami mendaki Latimojong. Coto Makassar memakai berbagai jeroan perut
sapi, bagi yang tidak suka dengan jeroan, mungkin akan sedikit aneh. Tapi
bagiku yang sangat suka berbagai sudut dari sapi pasti akan sangat
menikmatinya. Jadi kami bisa memilih akan memakai jeroan bagian mana saja
seperti paru, usus, hati bahkan campuran. Kuah yang berwarna kehitaman, awalnya
kukira dari kluwek; salah satu makanan khas Pekalongan. Ternyata ini berasal
dari kacang yang digoreng kemudian ditumbuk. Benar, khas kacang gorengnya
sangat terasa pada kuah kental coto ini. Di sajikan pada mangkuk kecil dengan pelengkap
ketupat yang masih utuh dengan kulitnya. Tapi bukan berarti di makan beserta kulit
kupatnya ya hehe.
Setelah kenyang,
perjalanan panjang di mulai. Jam 10 pagi kami berangkat. Teringat perjalanan
dari Kota Padang ke Desa Kersik Tuo, Jambi yang juga memakan waktu lama. Perkiraanku
ini tidak akan berbeda jauh dengan waktu itu. Beruntungnya, jalanan Makassar ke
Enrekang tidak terlalu berkelok-kelok kecuali dua jam terakhir sebelum sampai.
Melewati Kabupaten demi Kabupaten. Aku masih saja terjaga, mungkin karena aku
duduk di bangku depan, jadi agak susah untukku mengistirahatkan diri. Banyak yang
ingin aku lihat dan banyak yang ingin aku tanyakan pada kunjungan pertamaku
ini. Sambil sesekali berbincang dengan Bang Abu, yakni supir travel kami yang
sudah biasa membawa pendaki ke Enrekang.
Persis setelah
isya kami sampai dan di jemput seorang teman asli Enrekang, namanya Diki. Lalu
menggiring kami ke kediamannya. Sepanjang perjalanan, rumah panggung menjadi
santapan mata kami. Sampai sempat terbesit dalam sekilas, aku ingin masuk dan ingin
tahu bagaimana model rumah adat khas Sulawesi itu.
Beruntungnya aku,
ternyata aku mendapat kesempatan ketika mengunjungi rumah Diki. Rumah panggung
yang dibangun penuh dengan lempengan-lempengan kayu, terdiri dari beberapa
tiang penyangga yang kokoh, tangga pada teras, dan asbes sebagai penutup rumah.
Penggunaan asbes bukan hanya terlihat disini. Rumah-rumah di daratan tinggi jawa
juga memakai asbes dengan tujuan memberi efek lebih hangat dari pada memakai
genteng tanah liat. Ruangan-ruangan sedikit memakai sekat kecuali pada kamar
tidur dan kamar mandi sehingga ruangan terlihat lebih luas.
Kami melepas
lelah disini, lengkap dengan sajian kopi khas Enrekang dan susu jahenya khusus
untukku saja sebagai satu-satunya perempuan. Jarak Enrekang ke Baraka tidak
terlalu jauh, yaitu sekitar satu jam. Tapi dengan kondisi badan yang capek
menempuh jarak seharian. Badan kami menuntut untuk beristirahat malam dahulu
dan mulai melanjutkan ke Baraka pada esok hari. Suhu dingin Enrekang menambah
lelap tidur kami.
Suhu dingin
berlanjut pada pagi hari. Aku bergegas mandi dan bersiap-siap, tapi tidak
dengan yang lain. Mereka masih akrab dengan selimut tidur, bahkan sampai
matahari mulai jelas terbit. Memang suhu ternyaman tidur adalah pagi hari
ketika cuaca sedang dingin-dinginnya. Menang berperang dengan rasa kantuk, satu
persatu bangun dan mulai packing belanjaan yang semalam sudah di beli Untung
dan Diki di warung-warung sekitar. Jam 8 pagi kami mulai berangkat ke Baraka.
Transpotasi
selanjutnya adalah mobil jeep yang kami sewa untuk megantar ke desa Karangan,
desa terahir pendakian Latimojong. Sebelumnya, kami melengkapi logistik
terlebih dahulu di pasar Baraka yakni bahan-bahan yang tidak sempat terbeli
semalam. Pisang kepok, sayur-sayuran, minuman seduh dan kudapan untuk sarapan
kami beli untuk melengkapi perjalanan kami dengan estimasi 3 hari 2 malam ini.
Jam 10 pagi jeep
kami datang dan langsung melanjutkan perjalanan ke desa Karangan kurang lebih 2
jam. Jalanan bebatuan tanah mendominasi medan kali ini. Kami beruntung beberapa
hari belakangan ini tidak ada guyuran hujan. Setidaknya itu sedikit membuat
perjalanan tidak begitu berat seperti yang terlihat di banyak sosial media.
Pengurusan
simaksi kami lakukan di basecamp setelah sampai di Karangan. Harga simaksi
masih sama dengan gunung-gunung di jawa tengah yaitu hanya Rp 10.00 saja bisa
untuk semalam atau dua malam.
Hujan yang
beberapa hari tidak datang, siang itu mengguyur desa Karangan. Kami yang
tadinya akan mulai treking selepas dzuhur jadi menundanya. Aku menikmati hujan
rintik waktu itu, di sebuah rumah panggung sambil bercengkrama dengan mereka
yang kuanggap keluarga. Inilah salah satu mengapa mendaki gunung menjadi salah
satu pelepas penat dari hiruk pikuk aktifitas sehari-hari. Bersenda gurau dengan
dengan yang kuanggap saudara, kakak dan adik selalu menjadi obat. Terlebih di
suasana alam yang menenangkan dan tanpa sibuk dengan gadget masing-masing.
Sepertinya hormon endorfin berlomba-lomba untuk lepas dari tubuh sehingga kami
sangat bisa rileks.
Yess, hujan pun
reda pada jam 2 siang. Kami mulai treking tipis-tipis pada jalanan yang masih
landai dan kemiringan yang masih tipis pula. Awalnya jalanan melewati beberapa
sungai kecil yang mengalir ke persawahan. Dengan pohon kopi yang berada di
kanan dan kiri. Jalan lebar sekitar 2 meter ini masih terus berlanjut sampai ke
pos I. Di trek gunung Latimojong tidak usah khawatir dengan persediaan air, ada
sumber air yang berlimpah dari awal hingga beberapa titik di dekat pos
nantinya, kira-kira begitulah kata-kata Riki di pendakian Latimojongnya yang
ke-19 ini. Wow!
Perlahan-lahan
kami sudah memasuki hutan untuk menuju ke pos 2. Ada beberapa tanaman yang
tampak familiar yaitu yang pernah kutemui di trek gunung Raung. Aku tidak tahu
apa namanya, barangkali teman-teman bisa membantuku memberi jawabannya hehe.
Tanaman berduri yang kadang menyangkut di baju atau ke coverbag. Terkadang
dapat menyebabkan pelindung carrier ini sobek. Dan satu lagi yang masih kuingat
bahwa tanaman seperti ini menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk para pacet.
Langsung lah, gerak tubuhku sangat hati-hati melewatinya. Punya pengalaman
tidak enak di trek Gunung Raung dan trek Danau Kaco dengan pacet, menjadikanku
agak fobia dengan binatang penghisap darah itu. Sialnya, hal yang paling aku
takutkan terjadi, satu pacet sudah mendarat sempurna di punggung tanganku. Aku
berteriak kaget walaupun semampuku sudah menahannya agar tidak berlebihan.
Teman-teman yang lain pun ikut kaget dan otomatis menghentikan langkah mereka.
Perlahan aku mengeluarkan minyak kayu putih dari dalam ranselku dengan sedikit
gemetar. Satu tetes saja cukup untuk membuat mereka melepaskan gigitannya pada
kulitku.
Lanjut dengan
berjalan santai, dalam waktu kurang dari 3 jam kami sampai di pos II. Pos ini
terdapat sebuah air terjun kecil, dan sebuah batu besar sebagai atap yang
menyerupai gua. Terdapat sedikit tempat landai disini, hanya dapat menampung 2
tenda kecil. Dibawah batu besar juga dapat dipakai tempat untuk beristirahat,
terlepas dari cerita-cerita mistisnya yang aku tahu setelah turun gunung.
Berbatasan dengan jurang kecil ke arah sungai, menjadikan kita harus
berhati-hati karena tidak terdapat tali pengamannya.
Hari hampir
gelap dan akhirnya kami memutuskan untuk bermalam disini tanpa membuka tenda.
Dengan hanya menggelar matras, kami menata tempat tidur dengan posisi seperti
pindah di pasar, maksudku berjejer rapi haha.
Menurutku,
tempat ini akan aman dari terpaan angin malam gunung dengan suara derasnya air
terjun juga akan menambah syahdu. Kita hanya perlu hati-hati dengan perbatasan
jurang ini. Jadi posisi tidur kita juga harus tetap waspada ketika mengubah
posisi. Tidak di rekomendasikan untuk orang-orang yang biasa tidur sampai
berguling-guling!
Merapikan
barang-barang dan mulai memasak. Menu malam itu adalah tumis buncis wortel,
teri dan tempe goreng. Di sajikan di atas kertas nasi saja agar rasa
kebersamaan tetap terasa. Alhamdulillah, habis ludes. Setelah kenyang, dan
sedikit berbincang-bincang kami mulai beristirahat dimalam itu. Selamat tidur.
Hari ke 4, 24 April 2018
Waktu subuh
datang, tidurku juga nyenyak semalam. Hanya saja aku belum ingin bergerak
keluar dari kantung tidurku. Baru sekitar jam 05.30 Aku tekadkan untuk keluar
dan menunaikan sholat subuh. Di waktu yang pagi sekali itu, aku pun sudah bermain
dengan kali curug untuk mengambil wudhu. Brrrr!
Disusul yang
lain, setelahnya kami bersiap-siap dengan membuat nasi goreng dan roti bakar
ala-ala untuk menu sarapan.
Matahari sudah
mulai naik, pukul 09.00 kami melanjutkan berjalan. Jarak dari pos II ke pos III
tidak terlalu jauh tapi menyuguhkan trek yang luar biasa. Medan curam dan
terjal. Hutan tropis yang sangat lebat, melewatkan kami di punggungan bukit
berbatasan langsung dengan jurang. Kemiringan mencapai 80 derajat membuat kami
selalu kesusahan melewati setapak demi setapaknya. Trek juga di hiasi dengan
akar-akar besar sebagai tumpuan kami. Trek ini tidak cocok untuk menggunakan
trekking pole, jadi disimpan dulu saja ya.
Kurang dari satu
jam sampailah di pos III. Istirahat sejenak dan kembali lanjut berjalan. Trek
dari pos III ke pos IV dan pos V sudah aman dari kemiringan seperti tadi. Medan
masih dalam lebatnya hutan tropis sehingga suasana menjadi rindang, sejuk dan sedikit
dingin walaupun di siang hari. Aku lupa mencatat perkiraan waktunya, tapi jam
17.00 kami sampai di pos V dan segera mendirikan tenda serta menyiapkan makan
malam.
Malam menyapa,
Aku masih saja sibuk berbagi cerita-cerita receh dengan mereka setelah perut
kenyang. Ditemani teh hangat, sebagai pengantar tidurku selepas menenggak
paracetamol karena kondisi yang sedikit tidak fit. Aku pamit untuk beristirahat
duluan.
Hari ke 5, 25 April 2018
Setting alarm
jam 2 dini hari terlewat begitu saja. Satu jam berjalan, aku bangun dan juga
membangunkan yang lain. Menggoreng pisang kepok dengan topping ovaltine bubuk
sepertinya cukup untuk mengisi perut kami sebelum summit. Roti bakar, biskuit
dan agar-agar juga tak lupa kami persiapkan untuk bekal.
Perkiraan sampai
ke puncak adalah 5 jam perjalanan. Jam 05.00 kami mulai treking selepas sholat
subuh. Jalurnya masih rapat sama seperti sebelumnya, sampai akhirnya kami
melewati hutan lumut. Keadaan hutan sudah mulai terbuka sampai di pos VII.
Sudah ditemukan
cantigi-cantigi pendek di pos VII dan disini pula pepohonan sudah semakin
jarang. Selang berapa lama, kami sampai di pos telaga. Kami di bilang beruntung
karena melihat telaga yang berisi air. Selain itu, terdapat tumpukan batu yang
menghiasi tempat ini. Aku tidak tahu apa motivasinya, bahkan Riki yang sudah
sering kesini saja tidak tahu apa maknanya.
Beda dengan trek
panjang Semeru ataupun Rinjani yang terlihat dari bawah, hal ini tidak
ditemukan untuk pegunungan Latimojong ini. Terdapat gundukan lagi, gundukan lagi.
Naik lagi, turun lagi. Saya paling kesal dengan trek seperti ini. Perkataan
Riki juga menyemangatiku bahwa setelah bukit ini sudah terlihat. Tapi nyatanya
perjalanan masih panjang. Jadi benar ya,
jangan percaya perkatan pendaki di gunung yang kebanyakan php haha.
Semangat masih
ada tapi badan sudah tidak bisa memberi kompensasi. Badanku hampir ngedrop di
akhir-akhir trek ini. Trekking pole l saja sudah lemas untukku mengangkatnya,
mata sudah mulai berkunang-kunang. Memang di akhir waktu, aku terlalu
memaksakan diri dan mengedepankan egoku untuk dapat sampai di puncak. Hatiku
terus saja bertanya kapan ini akan sampai. Hingga pada akhirnya, Aku terjatuh,
braaak!
Aku diam sejenak
tanpa memerhatikan mereka.
”Ga apa-apa Lin? udah istirahat
dulu, makan dulu.” kata seorang teman yang aku tidak ketahui siapa orang yang
berbicara itu.
Tanpa sadar
kemudian aku menangis. Mereka semua panik. Aku di kerumuni mereka yang mencoba
menghiburku.
“Ini Lin, makan agar-agar dulu!”
kata Anjar. Aku menggelengkan kepala dan masih tersedu.
Lalu agar-agar
di keluarkan kemudian mulai di potong-potong. Aku memperhatikannya dan kemudian
menyerobot pisau dan agar-agarnya, karena menurutku cara memotongnya bukan seperti
itu. Ini sih cuma masalah persepsi bagaimana cara memtong agar-agar yang baik.
Tapi overall, hal itu justru mengalihkan perhatianku. Alih-alih masih terisak,
aku malah kembali tersenyum gara-gara kejadian ini.
“Oh jadi nangis itu gara-gara pengen
agar-agar.” kata mereka menghibur.
Detik-detik
setelah ini masih sama, perjalanan masih 15 menit lagi. Aku dibantu berjalan
oleh Riki dengan menarik trekking pole punyaku sampai 10 meter sebelum puncak.
Dan Alhamdulillah, sujud syukurku mencapai puncak Rante Mario, Pegunungan
Latimojong, 3443 MDPL. Memang keadaan tidak cerah tapi walaupun begitu semuanya
senang. Tujuan kami tercapai. Sesekali langit biru juga mengintip, meski hanya
sebentar. Semua menikmatinya. Di tambah kami meracik agar-agar tadi dengan
soda, nata decoco dan susu kental manis. Menambah secuil kenikmatan di tanah
tertinggi Sulawesi. Alhamdulillah!
Terima kasih
untuk Allah yang selalu memberiku berbagai kenikmatan untuk melihat alam milik-Nya.
Terima kasih untuk doa kedua orang tua, teman-teman, rekan seperjalanan Untung,
Anjar, Bang Tynol, Vero, Diki, Riki dan Bang Abu yang sigap mengantar dan
menjemput kami, serta keluarga Diki yang sudah bersedia menerima kami di rumahnya.
Semoga cerita yang sedikit ini dapat menjadi inspirasi dan remainder ketika
rambutku sudah memutih nantinya. Salam lestari!
Buat novel lah teh
ReplyDeleteAda kontak travel makassar enrekang?
ReplyDelete