Argopuro yang menakjubkan



Perjalanan kali ini adalah perjalanan yang sama sekali tidak bisa aku prediksi sebelumnya. Slentingan untuk pergi jalan-jalan sebelum pergi ke kondangan seorang teman di Malang memang ada, tapi terlihat masih sangat samar. Iya, perjalanan ini sebenarnya adalah perjalanan kondangan saja. Tapi aku dan yang lain berpikir, mengapa tidak sekalian untuk mendaki gunung saja. Toh, kondangannya juga jauh di Malang, dan bagian dari kabupaten di Jawa Timur ini pasti memiliki tetangga surga-surga di ketinggian. 

Berawal dari kehabisan tiket kereta api murah meriah Matarmaja dengan tujuan akhir Malang, akhirnya pembelian tiket dibelokan ke Surabaya. Aku, Untung, bang Mulya dan bang Tynol mendapat tiket Kertajaya dengan harga yang masih sedikit membuat kami tersenyum yakni Rp. 160.000,-. Kami berpikir jika kami sudah mendapat tiket ke Surabaya, paling tidak akan lebih mudah untuk dapat mencapai Malang. Sehari sebelum keberangkatan banyak insiden-insiden kecil terjadi. Aku beserta yang lain belum mempersiapkan apa-apa. Kami belum packing. Terlebih kabar panggilan kerja dadakan bang Tynol yang mengharuskannya untuk tetap stay di Jakarta. Untung yang baru pulang dari Andong bahkan tidak memperlihatkan kesiapannya untuk berjalan pada esok hari. Aku yang belum siap karena sama sekali tidak melakukan persiapan fisik dan bang Mulya yang tidak terdengar kabarnya.

Kami memesan tiket h-4 sebelum pernikahan mas Ndut di Malang, jadi kami masih punya waktu untuk berjalan-jalan. Tujuan kami juga masih belum jelas. Apakah akan mengulang kembali ke Semeru? mendengar sistem booking online yang sekarang diterapkan disana pasti akan membuat kami kesusahan memasuki quota yang sudah penuh. Ataukah akan menghabiskan 4 hari di Arjuno-Welirang? tapi belum terlihat ada yang benar-benar mengeluarkan api semangat dari matanya. Atau ke Argopuro, gunung dengan jalur trek terpanjang di Jawa, apakah kami bisa melaluinya hanya dengan 4 hari saja? Aku pribadi sama sekali belum memasukan Argopuro dalam list yang ingin kukunjungi. Mendengar panjang jalur yang didominasi oleh savana-savana, aku sudah bisa membayangkan pasti akan sangat melelahkan dan akan sangat mudah membuat kulit wajah terbakar. Ini akan sama dengan pengalaman pendakianku di jalur Sembalun gunung Rinjani yang gersang sehingga membuat kulit wajah terkelupas dan terasa sangat perih.

26 juni 2018 
Tiket sudah dipesan dan drama pun dimulai. Aku yang memang agak slow dengan jadwal keberangkatanku ke stasiun Pasar Senen, menggagalkan rencana Untung untuk agak sedikit memberi kejutan kepada bang Mulya tentang kabar tidak ikutnya bang Tynol. Bang Mulya yang mengira bang Tynol akan pergi interview kerja hari ini, menjadikan kami hanya berangkat 3 orang. Kejadian ini sama persis ketika keberangkatan kami ke Semeru pada tahun lalu. Awalnya, 6 orang penuh akan mengisi kursi padat kereta api Matarmaja, tetapi pada hari keberangkatan hanya 3 orang yang terlihat batang hidungnya. Semua rencana gagal karena bang Mulya sudah melihat bang Tynol berkeliaran di stasiun secara tidak disengaja. Yah, mereka memang selalu membuat kejutan-kejutan yang tidak terduga, terlepas dari apapun, mereka hanya menjadi diri mereka sediri dan itu membuat perjalanan menjadi semakin menarik. 

Total ada 4 tiket dan sudah terisi penuh pada kursi masing-masing. Kereta memulai perjalanan pagi itu. Aku menikmati waktu setiap menaiki mode transportasi favorit ini. Kurang dari 10 menit, kami baru saja menemukan tempat duduk. Hal itu pula yang mengurungkan niatku untuk membeli sarapan ketika sampai di stasiun, bahkan cemilan pun tak sempat terbawa kecuali sebungkus besar kwaci. Lagi, rencanaku selanjutnya adalah menahan lapar sekitar 3 jam sampai di stasiun Cirebon Perujakan. Ternyata tidak hanya aku saja yang mengisi perut dengan makanan yang dibeli di pinggiran stasiun Cirebon Perujakan, tetapi yang lain pun melakukan hal yang sama. Memang perjalanan ke Surabaya masih ada sekitar 7 jam lagi. Kami harus bersiap-siap “kenyang“ untuk tidur panjang. Haha 

Perjalanan kereta sudah kami tempuh setengahnya, tapi obrolan kami belum mengerucut kemana arah langkah akan membawa. Untung yang bersikukuh dengan tujuan Argopuro, tapi belum apa-apa aku yang sudah lemas, bang Tynol yang mengiyakan dengan meragukan jarak tempuh kota Situbondo yang terlalu jauh, bang Mulya yang menyerahkan segala keputusan kepada 3 anak muda itu. Atau masih dengan tujuan ke Semeru, dengan kemungkinan terburuk tidak bisa masuk kawasan karena pengunjung telah penuh. Atau juga jalan-jalan santai saja di Malang, tapi akan sia-sia karena sudah membawa peralatan mendaki seperti ini. Kami belum banyak mengambil pusing. Kata “let it flow” cukup menggambarkan keadaan kami waktu itu sampai kami tertidur pulas dan sampai di stasiun Pasar Turi Surabaya. 

Kami kembali mencari kudapan untuk mengisi perut malam itu dengan pecel ayam dan lele khas Lamongan yang ada di deretan depan stasiun. Lalu segera memesan jasa mobil online ke terminal Bungurasih. Terjadi insiden kecil yang tentu tidak mengenakan kami dengan driver pertama yang kami dapat. Driver meminta dilebihkan cashnya karena melihat tas ransel kami yang besar. Tentu saja kami menolak dengan negosiasi yang sedikit melibatkan emosi waktu itu, kami memilih mencari driver lain. 

Keputusan bersejarah terjadi di terminal Bungurasih, antara mengambil bis Malang atau mengambil bis Probolinggo. Dengan sedikit chit-chat kurang dari 2 menit itu diputuskan bahwa kami akan pergi ke Argopuro sehingga harus mengambil bis arah Purbolinggo. Sedikit kesal ya, tujuan yang dari awal samar-samar dan tidak berujung, selesai dengan perbincangan santai 2 menit. Mulai dari situ, kami mulai mencari info bagaimana cara untuk bisa mencapai desa Baderan, Situbondo sebagai pintu masuk ke Argopuro. 

Dengan pedoman googling dan tanya kanan-kiri, arah yang harus diambil adalah dengan bis Akas. Berbeda dengan daerah jawa tengah dan jawa barat, terminal Bungurasih sebagai terminal utama jawa timur beroperasi 24 jam dengan tarif yang transparan. Tarif ditampilkan pada sudut-sudut atas setiap pemberhentian bis tiap kota. Hal seperti ini bahkan tidak aku temukan di terminal Pulo Gebang sebagai sentranya terminal daerah DKI Jakarta. Jadi untuk pejalan yang baru datang kesini tidak akan terlalu bingung dengan tarif yang kadang ditembak sesuka kondektur bis ketika melihat wajah cengok kebingungan. Bis jalan tepat sebelum tengah malam dan 3 jam kemudian kakiku menginjakan untuk pertama kalinya kabupaten Probolinggo. 

Gerbang Terminal Probolinggo


27 Juni 2018 
Hal selanjutnya adalah mencari bis Akas kecil arah Besuki. Setelah observasi dengan warga sekitar terminal, arah Besuki tidak ada disini. Lagi, harus menyewa angkutan untuk menuju ke tempat bis Akas kecil berada. Tidak jauh dari terminal sekitar 15 menit kami sampai. Bis Akas kecil hanya beroperasi sehari sekali pemberangkatan jam 7 pagi. Sebelum sampai, kami ditawarkan untuk membeli bekal logistik di pasar induk setempat. Aku dan bang Tynol membeli beberapa sayuran, bumbu dapur dan membeli keperluan lain di indom*rt. Sepertinya aku bisa berhemat untuk hal lain tapi tidak untuk makanan, gizi harus benar-benar terpenuhi selama di gunung. Bahkan aku mengutamakan menu-menu enak di gunung. 

Perbekalan untuk 4 orang untuk 4 hari sudah ada di kantong-kantong plastik yang berat ini. Pagi dini hari itu kami gunakan untuk istirahat di emperan bangunan seperti sebuah kantor. Hanya dengan menggelar matras, kami sudah bisa lelap meluruskan kaki yang sedari pagi terlihat lelah ditekuk di kereta dan bis. Aku benar-benar lelap. 




Berdasarkan penjelasan bapak sopir angkot semalam, bis Akas kecil ini akan membawa kami ke pintu gerbang pendakian Argopuro. Tanpa bertanya banyak kami langsung naik ketika waktu menunjukan jam 7. Di perjalanan, bapak kondektur mulai meminta bayaran, sambil berbincang-bincang bapak menjelaskan bahwa bis ini akan membawa kita ke desa Bremi. Itu jauh berbeda dengan rencana kami. Kami seharusnya naik lewat Baderan dan turun lewat Bremi. “Terus, kalau kami mau ke Besuki harus make bis apa pak?” tanya kami, “Ouh kalau ke Besuki bukan make bis ini, nanti ada pertigaan di depan ambil yang lurus nanti itu sampai di Besuki”. Dari situ kami yang mulanya sudah sayu mengantuk terkena angin perjalanan, membelalakan mata kembali. Wrong bus! 

Kami turun, kemudian menemukan kendaraan yang kami maksud menuju ke Besuki. Sampai di alun-alun kami langsung didekati beberapa tukang ojek. Kami bak gula yang dihampiri segerombolan semut. Matahari sudah semakin tinggi, membuat kami segera dengan cepat menyelesesaikan negosiasi tarif ojek ke desa Baderan. Kurang dari setengah jam kami sampai di kantor Perhutani sebagai perizinan simaksi untuk masuk kawasan gunung Argopuro. 

Bis Akas kecil membawa arah Baderan


Packing ulang kembali kami lakukan dan menyiapkan semuanya dengan rapi. Perjalanan gunung Argopuro lintas melalui Baderan-Bremi umumnya dilakukan 5 hari 4 malam. Sementara itu, kami diharuskan pada tanggal 1 juli sudah ada di Malang. Jadi, waktu yang harus kami lewati di gunung adalah 4 hari 3 malam. Berpikir mengebut saat treking jelas tidak mungkin, karena pasti akan sangat melelahkan untukku. Satu-satunya cara memangkas waktu adalah dengan naik ojek. Tarif yang ditawarkan adalah 300 ribu untuk sekali angkut ke Cikasur. Nominal itu terlalu besar untukku, bahkan yang lain. Nilai lebihnya dengan harga itu kami dapat memangkas waktu sehari. Akhirnya, kami tetap memangkas waktu 2 jam jalan kaki dengan tetap naik ojek sampai jalan ujung aspal atau Makadam.

Packing ulang logistik dan peralatan


Suasana hutan langsung terasa setelah masuk Makadam. Pepohonan belum terlalu lebat dan jalanan pun masih aman, santai, dan landai. Keberangkatan kami yang hampir waktu tengah hari menjadikan udara begitu panas. Target kami adalah bermalam di Cikasur. Sementara itu, kami berjalan sangat lamban. Beradaptasi dengan jalur yang lurus tapi melelahkan. Jalur yang terbentuk akibat seringnya terlindas ban motor, menjadikannya melengkung ke bawah. Tentu saja berjalan dengan batasan lengkungan itu, menjadikan cara berjalan pada satu garis bak seorang yang berlatih menjadi model catwalk. Trust me, its so exhausting!

Keadaan badan yang seharian kemarin di perjalanan sampai tadi pagi menjadikan kami mudah kelelahan. Beberapa kali ketiduran di trek, bahkan ada beberapa yang tidur nyenyak di trek sampai lebih dari setengah jam. Wasting time sih, tapi memang, mencuri-curi waktu untuk tidur lelap di trek itu nikmat yang tidak bisa diungkapkan. Mungkin didukung suasana siang hari yang rindang di bawah pohon, oksigen baru yang sejuk serta suasana hutan yang nyaman. What a perfect time!


Pules ya tidur mereka


Berjalan dengan santai pada hari pertama membuat target untuk sampai di Cikasur hanya sebuah angan. Mata Air I sudah lama terlewati. Hari menjelang malam, sebelum waktu magrib kami sampai di Mata Air II, terlihat sudah ada beberapa kelompok yang sudah rapi mendirikan tenda. Meski namanya pos Mata air II, aku tidak mendengar bunyi aliran air atau melihatnya. Aku hanya fokus membantu menyiapkan makan malam waktu itu dan lelap dalam tidur pada malam pertama bermalam. 

28 juni 2018 
Rencana untuk bangun lebih pagi terlewat. Pagi di pos Mata Air II seperti suasana khas pegunungan lain, dingin. Aku sibuk menyiapkan sarapan dan yang lain sibuk tugas masing-masing. Sementara itu, tenda sebelah terlihat sudah merapihkan barang-barangnya. Tampak empat pemuda dan satu perempuan sedang mengencangkan tali sepatu dan membereskan sampah. Tiba-tiba, ada warga dengan motornya akan melewati mereka seraya berhenti.

Aku dari kejauhan hanya memperhatikan sesekali ketika mereka berbincang. Empat pemuda ini terlihat berpamit berjalan mendahului melewati tenda kami. Kami mengiyakan dengan ramah. Tapi tidak dengan satu perempuan rombongannya terlihat masih asik mengobrol dengan bapak pembawa motor. Sambil packing bang Mulya juga ikut mengobrol dengan bapak tadi. Sebut saja Mawar, aku lupa namanya. Mawar berencana membonceng bapak tadi sampai ke Cikasur. Bang Mulya juga menganggap ini sebuah ide brilian. Bang Mulya mengantri untuk menggunakan jasa ojek dadakan ini setelah Mawar dengan tujuan yang sama. Mawar dan bapak mulai meninggalkan kami. Kemudian aku, Untung dan bang Tynol menyusul berjalan. 

Sementara bang Mulya menunggu bapak ojek mengantarkan Mawar. Jalanan dari pos Mata Air II masih landai dengan kontur jalanan yang masih sama. Kali ini tujuan kami adalah pos Rawa Embik. Satu jam berjalan, kami sampai di sabana kecil. Suguhan pertama kami di Argopuro. Tempat rindang kami pilih untuk beristirahat sejenak menikmati pemandangan. Sabana khas Argopuro yang terlihat kuning keemasan dengan hiasan langit biru yang sesekali dilewati awan putih. Angin yang semilir menjadi pelengkapnya. 

Sambil bercengkrama dengan rombongan lain yang sebagian besar dari Jakarta juga, menambah istirahat kami menjadi lebih menyenangkan. Terlihat seekor babi hutan dari kejauhan, menambah wacana obrolan kami. Sebagian tidak ketinggalan untuk mengambil time-lapse langit yang menarik ini. 

Istirahat di sabana kecil


Selanjutnya dengan suasana khasnya, kami sampai di sabana besar. Sabana yang lebih luas dari sebelumnya. Berpusat sebuah pohon di tengah sabana. Membuat kami tertarik untuk beristirahat di bawahnya. Terlihat juga rombongan lain yang sampai terlebih dulu. Disini salah satu spot bagus untuk berfoto-foto. Kami kembali beristirahat dengan teman yang sama. 

Terdengar dari kejauhan suara motor. Aku rasa itu adalah motor yang mebawa bang Mulya. Dugaanku benar, bang Mulya terlihat dari kejauhan dan kemudian berhenti di tempat kami beristirahat. Sambil sedikit melemparkan banyolan-banyolan khas mereka. Tanpa membuang waktu lama, ia melanjutkan perjalanan. 


Istirahat di sabana besar


Hari sudah siang, target kami mencapai pos Rawa Embik masih sangat jauh. Pos selanjutnya adalah Cikasur, sabana terluas di pegunungan Argopuro. Perjalanan yang masih landai, hanya sebagian kecil ditemui agak menanjak. Pepohonan semakin jarang di daerah perbukitan. Hawa terasa lebih panas dari hari kemarin. Ketika sedang tenang berjalan tiba-tiba rombongan depan, memberi instruksi untuk berjalan hati-hati. Aku kaget. Ini ada apa? Apakah ada babi? Seperti yang kami lihat tadi di sabana kecil? Atau ada hewan lain yang berbahaya? Mengapa rombongan depan meminta kami berhati-hati? Kami sejenak berhenti dan kembali berjalan dengan ritme yang lebih pelan. Tak lama, kami diberitahu kembali untuk tidak mengeluarkan suara-suara yang mengangetkan. Aku lebih penasaran. Setelah berada di satu titik pada rombongan tadi, mereka memberi tahu bahwa ada merak. Wow!

Baru petama kali ini aku terkesan dengan hewan yang aku lihat di hutan. Burung merak sedang bertengger di sebuah dahan pohon. Aku menikmatinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Burung merak yang mungkin hanya aku lihat di kebun binatang, sangat menarik ketika melihatnya langsung di alam bebas. “Lin, Ntung duluan aja, gue mau liatin merak dulu. Gue baru pertama kali liat merak. Gua ga mau ninggalin kesempatan ini” ucap bang Tynol tanpa menoleh ke arahku ataupun Untung. Kami mengiyakan, dan meninggalkan bang Tynol sendirian dengan meraknya. 

Selang beberapa menit aku dan Untung berjalan, bang Tynol menyusul kemudian. Tak berselang lama saat matahari tepat berada di atas, sedikit miring kearah barat menandakan sudah masuk waktu dhuhur. Cikasur terlihat dari kejauhan. Jalanan kembali menurun mengarah ke sungai. Akhirnya aku menemui sungai yang jadi perbincangan warga. Air yang lebih enak dari air mineral yang jual di pasaran. Seperti mendapat 2 jackpot dalam satu waktu. Terlihat puluhan merak sedang bercengkrama di tepian sungai. Dari kejauhan mereka tampak tak menghiraukan kami yang sedang serius mengabadikannya. Aku baru sadar bahwa perjalanan ini sepertinya menunjukanku tempat-tenpat terbaik Seriously, this is really amaze me!

Cikasur adalah savana rumput terbesar dalam perjalanan kali ini. Sebuah tempat bekas lapangan terbang yang punya kisah memilukan pada masa pembangunannya. Kisah pembantaian pribumi yang dipaksa kolonial untuk membangun tempat ini menjadi sangat pekat melatarbelakanginya. Sehingga tak salah jika warga sekitar menganggap, bahwa tempat ini adalah tempat yang penuh misteri. Lepas dari energi itu, aku melihat bahwa Cikasur adalah tempat yang indah. Savana luasnya memberikan angin semilir yang menenangkan walaupun ketika itu matahari sedang terik-teriknya. Aku, Untung dan bang Tynol kembali meluruskan kaki sambil makan siang ditemani Mawar yang sudah sampai duluan. Aku tidak menjumpai bang Mulya disitu. “Ka, tadi temennya udah jalan duluan ya, udah sekitar sejam lalu” kata Mawar menyambut kami. Aku tahu yang dimaksud adalah bang Mulya. “Ka, cobain tumis selada air deh, baru aku masak. Dapet dari bapak yang ngojekin tadi. Dia kesini mau panen selada air, eh aku beli aja dikit” Mawar menawarkan kudapan makan siangnya. Bukan kami menolak, kami lebih tahu diri. Masakan itu pasti sudah disiapkan untuk kelompoknya. Giliran kami mengeluarkan santap siang untuk menambah energi lagi. 



Sabana Cikasur
Sabana Cikasur terlihat dari atas

Hari hampir sore. Kami istirahat cukup lama di Cikasur sampai-sampai kami lupa waktu. Sekitar jam 15.00 kami mulai melanjutkan berjalan menuju ke Cisentor, satu pos sebelum Rawa Embik. Jalanan kali ini berbeda dari sebelumnya. Kami mulai memasuki hutan dengan alang-alang yang menjulang tinggi sekitar 2 meter. Aku bukan hanya berjalan dengan kaki, tanganku juga ikut membantu menyingkap berbagai dahan tanaman yang keseluruhan menutupi jalur. Aku sangat terbantu oleh trekking pole. Belum lagi, kabar terkenal dari teman-teman yang sudah pernah kesini, yaitu untuk menghindari tanaman “jancukan”. Iya, warga sekitar menyebutnya begitu. Nama latin tanaman ini adalah Gardenia palmata, tanaman dengan daun yang dipenuhi dengan duri kecil. Kesan gatal-gatal dan panas akan terasa ketika kulit terkena daun ini. Waktu itu, aku belum tahu persis bagaimana bentuk daunnya, aku dan yang lain hanya pandai mengira-ngira. Cara aman satu-satunya dengan memakai sarung tangan dan berhati-hati dengan tanaman berduri. Alhamdulillah, tidak ada gatal-gatal yang begitu serius seperti efek jancukan ini. 

Tapi bukan hanya itu kendala kami. Selain trek dengan dipenuhi alang-alang tinggi ini, jalanan juga sepertinya memanjang karena setelah gelap pun Cisentor belum terlihat. Kami mulai mengeluarkan headlamp. Ritme kami kurangi. 

Berjalan ditempat yang penuh dengan dahan-dahan serta alang-lanag tinggi di malam hari semakin menciutkan nyaliku. Beberapa kali melakukan treking malam tapi berbeda dengan waktu itu. Ketika hari terang aku tak tahu persis apa yang ada didepanku ditambah ketika hari mulai gelap. Aku sebisanya menutupi kepanikan itu dengan terus berjalan sambil terus berdoa agar bisa mencapai pos selanjutnya. Kami berjalan pelan, tapi kami sudah jarang berhenti. Tempat landai dan lebar sudah jarang ditemukan. Kami hanya harus berjalan terus.

Ada yang menarik pada malam itu. Gelap yang tak gelap seperti ada lampu yang berjalan mengikutiku dari belakang. Aku abai untuk beberapa saat. Sambil berhenti mengatur napas panjang aku mulai mencari sumber terang itu. Masya Allah, aku ternyata telah melewatkan sinar bulan penuh yang benar-benar benderang. Sinar bulan bulat penuh. Menjadikan malam tersinari dengan sangat cantik. Aku tidak akan mendapatkan pengalaman seperti ini jika berada di kota, bahkan pedesaan. Setelah hampir 2 jam setelah hari gelap sekitar jam 20.00 kami menjumpai sebuah jalan turunan dan melewati sebuah sungai kecil. Terlihat nyala lampu headlamp dari kejauhan. Alhamdulillah, kami mencapai Cisentor. 

Kami menemukan bang Mulya sedang bercengkrama dengan teman-teman barunya. Mbak Dewi yang tertinggal sendirian dari rombongannya serta rombongan dari Malang dan Semarang. Target bermalam di pos Rawa Embik gagal. Masih harus berjalan 2 jam lagi untuk mencapainya. Terlebih dengan keadaan lelah, pasti akan lebih lama. 

29 juni 2018 

Bermalam di Cisentor

Hari ketiga di gunung, kami targetkan untuk mencapai puncak Argopuro. Sengaja kami bersiap-siap lebih pagi. Perbekalan seperti air bisa diisi ulang disini. Cisentor mempunyai lahan yang tidak terlalu luas hanya muat untuk 5 tenda. Terdapat shelter dari kayu di pojokan dan sungai kecil dibawah. 

Kami berjalan kembali dan dominasi trek sama. 3 jam kurang kami sampai di pos Rawa Embik. Sekarang kami berbarengan dengan rombongan dari Solo yang kebanyakan adalah anak SMA. Kami cukup lama beristirahat disini, saling berbagi bekal dan cerita. Sebagian menunaikan ibadah sholat dhuhur dengan berjamaah. 

Sholat dhuhur berjamaah di pos Rawa Embik


Rawa Embik punya lahan yang cukup luas, mungkin bisa untuk sekitar 10 tenda. Bang Mulya memulai lebih dulu, mengambil arah kanan tanpa memperhatikan pita penunjuk jalan. 15 menit berlalu, bang Mulya kembali dengan wajah panik seperti orang ketakutan. Iya, aku juga tidak mengira kalau bang Mulya salah jalan. Aku dan yang lain kaget. Aku tidak memperhatikan kalau jalan pinggiran sungai kering itu tidak ada pita. Bang Mulya kembali dengan cerita mencengangkan. “Lu ga akan percaya, gue liat apa tadi. Gue udah mikir ini jalan engga bener. Mundur pelan-pelan sambil gemeteran” kata bang Mulya sambil menggelengkan kepala. Kami khawatir tapi kami juga tidak bisa menahan tawa. Sedangkan Untung dan bang Tynol juga tidak henti-hentinya melayangkan kalimat bulian. “Gue ceritanya nanti aja, kalau gue cerita disini, kalian udah pasti langsung pengen jalan balik” tambah bang Mulya menakut-nakuti.  

Sambil berjalan bang Mulya menceritakan sedikit-sedikit detail kejadiannya. Ritme pelan dengan jalanan landai, kami sudah melewati beberapa savana dan sampai di sabana Lonceng. Sabana Lonceng adalah tempat terdekat dengan puncak. Terdapat persimpangan untuk menuju kedua puncak, ke kiri untuk mencapai puncak Rengganis dan kanan untuk mencapai puncak Argopuro sekaligus untuk melintas turun ke jalur Bremi. 




Aku sudah kelelahan waktu sore itu, terlebih keadaanku yang sedang haid menjadikan badanku agak lemas. Aku dan bang Mulya langsung lanjut ke puncak Argopuro, sedangkan Untung dan bang Tynol berencana untuk mampir ke puncak Rengganis dulu sebelum naik ke puncak Argopuro. Toh, jarak keduanya tidak begitu jauh. Puncak Argopuro sudah terlihat, tapi kemiringan yang punya jarak 15 menit terasa berat bagiku. Terbiasa dengan jalur yang kebanyakan landai 2 hari belakangan sepertinya menjadikan kakiku agak manja. Sedikit demi sedikit, bang Mulya sudah mencapai puncak dan aku menyusul di belakangnya. Alhamdulillah, puncak Argopuro, gunung dengan trek terpanjang pulau Jawa kami capai pada sore itu. Puncak yang ditandai dengan tiang bendera Indonesia dan bebatuan. Terlihat masih ada sesajen disamping tiang puncak. Suasana agak berkabut dan terlihat lautan awan di balik pepohonan yang mengelilingi puncak. Sudah ada rombongan dari Semarang yang sedang asyik berfoto. Sedang aku sibuk mengatur nafas yang tersengal-sengal.

Puncak Argopuro

Puncak Rengganis


Tak lama, Untung dan bang Tynol menyusul. Kami pun sama, berlalu sibuk mengabadikan momen ini. Kami turun lewat jalur yang berbeda, yaitu jalur Bremi yang berakhir di desa Bremi, Situbondo. Bak langit dan bumi, jalur Bremi menyuguhkan jalur terjal dengan kemiringan curam. Tidak ada yang bisa mengebut di jalur ini, semuanya berhati-hati melewati turunan dengan batu-batu besar. Karena salah langkah sedikit saja mungkin cukup untuk membuat nyawa melayang. Terlebih hari sudah mulai gelap. 

Puncak Hyang kami lewati setelah puncak Argopuro, yang berjarak sangat dekat, sekitar 5 menit. Jalur masih sama untuk 2 jam kedepan, kami belum menemukan tempat landai untuk beristirahat. Jalanan gelap yang hanya mendapat penerangan dari lampu headlamp tanpa sinar bulan seperti kemarin. Bisa jadi juga karena rapatnya pepohonan menjadi suasana menjadi begitu gelap. Kami berjalan dengan formasi rapat.



Dalam kondisi seperti ini perasaan panik dan paranoid akan sangat rentan menghampiri, jadi sebisa mungkin aku mengatur napas panjang untuk membuat pikiran jadi rileks dan nyaman. Syukurnya, jalanan batu berakhir dan kami dihadapkan dengan tanah landai yang tidak begitu luas. Kami istirahat dengan dua rombongan lain, dari Semarang dan Solo. Setengah jam kami habiskan untuk mengatur nafas. Target kami adalah bermalam di pos Cemoro Limo. 

Kami berjalan terlebih dahulu dari rombongan lain. Mereka mungkin akan bermalam disini. Tidak ada tanda-tanda mereka akan menyusul, terlebih ada anggota rombongan mereka yang belum sampai. Jalanan berubah dari sini, sudah tidak ditemukan batu-batu terjal. Tapi sekarang giliran kondisi kami yang sudah kelelahan, membuat ritme sedikit lebih pelan dari sebelumnya. Satu jam berjalan kami tidak menemukan tulisan pos Cemoro Limo. Membuat kami menebak-nebak lahan yang luas dikelilingi kayu-kayu besar pohon ini adalah pos yang kami tuju. Okelah, kami tidak tahu ternyata tempat yang terdapat plang besi dari Marinir adalah pos Cemoro Limo. 

Kami sempat bertemu mbak Dewi dengan temannya yang sedang beristirahat dan siap melanjutkan ke danau Taman Hidup, tempat rombongannya bermalam. Tanpa pikir panjang tenda dibangun dan semua langsung hanyut beristirahat.

30 juni 2018
Hari terakhir di gunung Argopuro. Pagi menyambut kami dengan syahdu dan kami siap menuju pos selanjutnya yaitu hutan lumut. Tak jauh dari situ, kami melewai hutan lumut yang sangat sejuk. Jalanan yang landai dipenuhi pepohonan benar-benar berlumut. Sensasi udara siang yang sedikit dingin, segar sekali.

Sayangnya kami mengejar waktu, tanpa istirahat kami melanjutkan berjalan sampai ke danau Taman Hidup. Danau yang menjadi ikon gunung Argopuro. Danau yang kata sebagian orang sunyi, melebihi sunyinya danau Ranukumbolo. Entahlah, ini hanya masalah persepsi menurutku. Tapi sesampainya di danau, aku merasakan hal yang menenangkan. Seperti damai bertemu air yang didatangi kabut siang pada hari yang tidak terlalu panas. 

Ada sebuah dermaga lengkap dengan atapnya terbuat dari kayu. Sebagian memang sudah rapuh, jadi aku harus benar-benar hati-hati. Duduk sejenak menikmati danau, kabut dan langit seperti menikmati bagian kecil dari keindahan semesta. Kami menghabiskan semua logistik yang tersisa di pinggiran danau. Obrolan-obrolan serta banyolan-banyolan kecil di layangkan satu sama lain. Sungguh beruntung bisa menghabiskan waktu bersama mereka. 




Kami kembali bertemu kembali dengan rombongan mbak Dewi dan melakukan perjalanan pulang dari danau bersama. Senang rasanya bisa menambah teman dan keluarga baru. Tak lupa kami menyisakan logistik kami dengan digantung di pohon untuk anak-anak dari Solo, kami tau mereka kekurangan logistik setelah ada kejadian “cemil royco”kemarin. 

Satu jam sudah, makan sudah dan foto-foto juga sudah. Ini detik-detik terakhir kami memakai tenaga untuk mencapai basecamp Bremi. Satu jam berjalan kami mencapai batas vegetasi dan berhasil keluar hutan. Tapi ternyata perkiraanku salah, kalu kami sudah sampai. Uh, kami harus berjalan sekitar 4 km lagi melewati kebun-kebun warga dan pedesaan untuk sampai di basecamp. Setengah perjalanan kami berjalan dan setengahnya lagi kami beruntung mendapat tumpangan mobil losbak. Alhamdulillah, touch down basecamp Bremi dengan selamat. 

Dan malam itu juga sesuai perkiraan kami sudah bisa mencapai Malang walaupun pada tengah malam yang hampir pagi. 

Ceritanya berakhir hari itu tapi tidak dipikiranku, Argopuro memberi semua hal-hal menarik yang akan selalu menarik diceritakan. Semoga bisa sedikit menggambarkan betapa menakjubkannya gunung Argopuro dari Baderan hingga Bremi. Dan sekali lagi pengalaman yang tidak akan sesempurna tanpa kalian Untung, bang Tynol dan bang Mulya. Terima kasih. 

Salam lestari!

1 Response to "Argopuro yang menakjubkan"

  1. Finnaly update juga, hah..
    So long waiting for your writing..

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel